logo-black

Catatan Hati Seorang Mantan Guru TPA

Catatan Hati Seorang Mantan Guru TPA

Angin berhembus dari Puncak Gunung Slamet, menebarkan hawa dingin. Saya masih mencoba menghangatkan badan di dalam tenda, ketika Anang, adik saya mendadak mengejutkan keheningan tenda dengan suara girangnya. “Mbak, regu kita juara umum!”

“Ah, yang benar?” tanya saya sambil keluar tenda. Saya kenakan jaket untuk mengusir hawa dingin.

“Iya, benar, regu santri kita juara umum.”

Suasana perkemahan santri TPA yang semula terasa begitu dingin, maklum lokasinya di lereng gunung, mendadak buncah oleh hangat. Saya dan teman-teman dari rombongan TPA Al-Muttaqien, baik pengajar maupun santri bertabir dan bersorak gembira. Anang benar, ternyata regu santri TPA kami meraih beberapa posisi puncak dalam aneka kejuaraan yang diselenggarakan dalam Kemah Santri TPA se kecamatan Karangreja saat itu. Oleh karenanya, secara otomatis regu santri kami menjadi juara umum.

Tenda sederhana kami pun riuh oleh bungah. Para santri, yang usianya baru sekitar 9 hingga 12 tahun tampak sangat girang. Sementara, para guru TPA yang juga mengawal mereka di Kemah Santri pun tak kalah gembira. Ah, jika mau jujur, sesungguhnya jarak usia antara para guru TPA dengan mereka, para santri, tak terlampau jauh. Jadi, kami memang sama-sama masih anak-anak.

Menjadi juara umum sama sekali tak saya nyana sebelumnya. Sebab, persiapan kami sangat minimal. Sekilas saya tatap tenda kami yang sangat sederhana. Terbuat dari deklit plastik pinjaman dari salah seorang orang tua santri. Sementara, tenda-tenda milik regu lain terlihat bagus dan menarik. Jika TPA-TPA lain mendapatkan sokongan dana yang cukup kuat dari para donatur, menjelang keberangkatan ke kota kecamatan, kami bahkan masih pontang-panting mencari dana. Apalah yang bisa dilakukan oleh pengelola TPA Al-Muttaqien yang masih sangat belia seperti kami?

Apakah Anda ingin tahu berapa usia kami saat itu?

Kala itu, tahun 1996. Saya masih kelas 2 SMA, usia belum genap 17 tahun. Dan saya adalah yang tertua di antara para pengajar TPA Al-Muttaqien yang berlokasi di Masjid Uswatun Hasanah, Dusun Adireja, Desa Tlahab Lor, Karangreja, Purbalingga. TPA Al-Muttaqien berdiri karena dukungan dari kakak-kakak mahasiswa UGM yang dengan izin Allah menjalankan KKN di sana. Setelah para mahasiswa itu kembali ke Yogyakarta, seorang da’i yang sangat militan dan ikhlas, namanya Pak Kuntowo, mencoba melanjutkan usaha para mahasiswa tersebut. Beliau adalah seorang PNS, sehari-hari bekerja sebagai guru di SMP N 1 Karangreja saat itu.

Akan tetapi, karena Pak Kuntowo tidak berdomisili di Adireja, tentu beliau kesulitan untuk terus mengelola TPA Al-Muttaqien. Akhirnya, beliau mengajak murid-muridnya yang sudah beranjak pra remaja dan remaja untuk menjadi pengurus. Cukup menggelikan karena Ketua TPA yang terpilih saat itu adalah adik saya sendiri, Anang, yang baru duduk di kelas 3 SMP. Pengurus-pengurus lain, rata-rata sebaya dengan Anang. Hanya ada beberapa yang sudah SMA, dan sekali lagi, saya adalah yang tertua. Jadi, meskipun posisi saya sesungguhnya sebagai bendahara, saya juga memegang kurikulum, kadang sekretaris, bahkan seringkali berperan sebagai ketua. Maklumlah, karena masih berusia remaja awal, adik saya itu seringkali kebingungan saat menghadapi masalah-masalah yang relatif besar.

Seperti soal pendanaan misalnya. Untuk membawa anak-anak santri mengikuti di acara Kemah Santri, tentu kami butuh dana. Untuk sewa transportasi (karena lokasi Kemah Santri sekitar 5 KM dari dusun kami), biaya konsumsi, peralatan dan sebagainya. Terus terang, kami tinggal di desa dengan pendapatan masyarakat yang rendah. Hanya ada satu dua orang-orang yang kami anggap cukup berada. Lucunya, salah satu tokoh yang kami anggap (mestinya) bisa men-support kami, malah bertingkah menggelikan. Suatu hari, kami mengedarkan permintaan sumbangan ke rumah-rumah. Ketika sampai di rumah beliau, sebut saja Pak X, beliau berkata kepada saya.

“Tulis saja di Rp 50.000,-!” perintah Pak X kepada kami. Saya dan teman-teman terbelalak senang. Rp 50.000,- saat itu termasuk nilai yang cukup besar. Sebagai gambaran, uang saku saya sehari saat itu hanya Rp 700,- itu sudah termasuk biaya naik Angkudes (Angkutan Pedesaan) ke sekolah sebesar Rp 200,- setiap pemberangkatan atau Rp 400,- untuk biaya Angkudes pulang-pergi.

Saya pun dengan bersemangat menulis di kertas daftar sumbangan. Pak X: Rp 50.000,-

Ternyata, apa yang terjadi, Saudara-saudara?! Pak X hanya menyuruh kami menuliskan angka tersebut, tetapi uang itu tak pernah diberikan kepada kami. Ah, saya masih tetap berprasangka baik, mungkin Pak X ingin memotivasi bapak-bapak yang lain agar memberikan sumbangan yang banyak kepada kami. Jika ingat peristiwa itu, saya hanya bisa tersenyum geli.

Edaran sumbangan memang lumayan efektif untuk mengumpulkan dana, akan tetapi, karena kondisi ekonomi mayoritas warga di dusun kami pas-pasan, jumlah yang terkumpul jelas kecil. Tak cukup untuk membiayai operasional santri TPA kami yang jumlahnya mencapai hampir seratus orang. Terlebih, untuk biaya Kemah Santri.

Kami terus memutar akal. Akhirnya, suatu hari saya mengusulkan untuk berjualan bubur kacang hijau. “Aku bisa bikin, kalau nggak enak, nanti bisa minta bantuan ibu,” saran saya.

Saran saya diterima. Dengan sedikit modal pemberian ibu saya, kami membuat bubur kacang hijau, dan dibungkus dengan plastik. Kami jual bubur tersebut dengan harga Rp 100 per bungkus. Kami membuka lapak di depan masjid. Yang beli, santri-santri kami sendiri. Juga para orang yang lalu lalang. Tak dinyana, dagangan kami laris manis. Seratus bungkus terjual habis. Kami mengantongi uang Rp 10.000,- modal hanya sekitar separuhnya. Lumayan, jika sehari bisa untung Rp 5.000,- sebulan kami akan punya tambahan kas Rp 150.000,- pikir saya. Nantinya, bukan hanya bubur yang kami jual, tetapi juga bisa snack-snack kesukaan anak-anak.

Namun, tak dinyana juga, suatu hari, seorang wanita setengah baya mendatangi lapak kami. Beliau mendamprat kami habis-habisan, dan melarang kami berjualan. Beliau adalah ibu-ibu yang berjualan makanan kecil di dekat masjid. Rupanya, gara-gara jualan kami, omzet dia menurun drastis. Kami pun hanya bisa terdiam dengan wajah pucat pasi mendengar dampratan dia.

“Sudahlah, tak usah berjualan lagi, nggak enak mengambil rezeki orang,” nasihat ibu saya kala itu. Kami pun menurut. Buyar deh, harapan untuk bisa mendapatkan penghasilan yang sebenarnya bisa sangat membantu operasional TPA, termasuk biaya Kemah Santri.

Tetapi, the show must go on! Ketika akhirnya waktu Kemah Santri tiba, dengan persiapan seadanya,kami tetap menyatakan berangkat. Kami mendirikan dua tenda, satu tenda putra, satu tenda putri. Untuk mengirit, para guru TPA membawa peralatan masak, dan memasak sendiri kebutuhan anak-anak. Jangan heran, kami ini anak-anak desa. Meski usia masih SMP-SMA, kami terbiasa membantu orang tua di dapur, jadi soal masak-memasak, sudah cukup lihai. Yah, meski kadang masih ada kasus nasi yang masih mentah, sayur keasinan, atau lauk yang gosong.

Tak dinyana, persiapan yang sederhana ini membuahkan hasil manis: kami juara umum. Horeee! Alhamdulillah.

* * *

Menjadi guru TPA bagi kami benar-benar panggilan jiwa. Terkadang kami juga heran dengan diri sendiri. Di saat remaja-remaja lain sibuk dengan urusan khas anak-anak muda, kami malah sibuk rapat di masjid. Kami, meski dengan keterbatasan yang dimiliki saat itu, memiliki idealisme yang luar biasa. Awal TPA berdiri, anak-anak yang ikut mengaji hanya segelintir. Lalu kami coba kelola TPA itu dengan baik. Kebetulan saat itu saya dan Anang aktif di OSIS dan Pramuka. Jadi, kami terbiasa berorganisasi sejak kecil, serta memiliki banyak perbendaharaan games, outbond serta metode-metode belajar yang asyik.

Jika sebelum itu anak-anak biasa belajar mengaji di masjid dengan metode turutan yang sulit, dengan guru yang “galak” serta metode pengajaran yang monoton, dengan adanya TPA, anak-anak merasa enjoy.

Beginilah gambaran pengajaran di TPA kami saat itu. Begitu jam TPA mulai, kami akan mengumpulkan anak-anak di halaman masjid, menyanyikan lagu-lagu bersemangat semacam Mars TPA, nge-games, dan yel-yel. Setelah itu, anak-anak akan dikumpulkan berdasarkan jilid IQRO-nya. Mereka ngaji IQRO satu persatu, bergiliran. Yang tidak kebagian ngaji, diberi tugas seperti menggambar, mewarnai dan sebagainya. Setelah IQRO selesai, mereka akan diberi tambahan beberapa pelajaran, seperti Sirah Nabi, Fikih Ibadah, Akhlak, Aqidah dan sebagainya. Kami juga mengajarkan aneka kesenian seperti musik Islami, baca puisi, drama dan sebagainya. Setiap event 17-an, TPA kami ikut menyumbang acara di pentas seni Panggung 17-an. Jangan salah, kami juga ada evaluasi semacam test hasil belajar lho. Setelah itu, kami memberikan raport untuk mereka.

Mungkin, melihat keseriusan kami mengelola TPA, lama-lama masyarakat percaya dan menyuruh anak-anak mereka untuk ngaji di masjid. Tahun kedua TPA berdiri, hampir semua anak yang beragama Islam (99% warga desa kami beragama Islam) ikut menjadi santri di TPA Al-Muttaqien.

Oleh almarhum Bapak saya, yang saat itu adalah Kepala SD, saya akhirnya diajari untuk membuat proposal kegiatan yang bagus. Lama-lama donatur pun percaya kepada kami, dan dana operasional mengalir lumayan. Wali santri pun dengan ikhlas mau membayar semacam SPP setiap bulan, walaupun jumlahnya tak besar.

* * *

TPA, adalah organisasi religius pertama yang saya tekuni. Saya aktif berorganisasi bahkan sejak SD. Akan tetapi, organisasi yang saya ikuti relatif umum, seperti PMR, Pramuka, OSIS dan Jurnalistik. Baru setelah saya bertemu dengan Pak Kuntowo ini, saya mulai terketuk untuk aktif di organisasi yang lebih Islami. Bahkan, karena TPA inilah akhirnya saya memutuskan untuk berjilbab.

Jujur, awal-awal saya mengajar di TPA, sebenarnya saya belum berjilbab secara penuh. Saya hanya mengenakan jilbab saat ke masjid atau ke acara-acara TPA, sementara, saat bersekolah, saya masih mengenakan rok yang panjangnya hanya sedikit di bawah lutut, kemeja lengan pendek, dan rambut tanpa tertutup kain kerudung. Nah, ada kejadian lucu, yakni saat saya turun dari Angkudes, dan saya melihat motor Pak Kuntowo terparkir di depan masjid. Kebetulan masjid berada tak jauh dari tempat pemberhentian angkudes. Saya panik bukan kepalang, dan akhirnya ngumpet di balik sebuah kios sampai Pak Kuntowo pergi dari masjid.

Saya sempat berpikir, sampai kapan saya kucing-kucingan seperti itu? Pilihannya ada dua. Saya mengaku terus terang dengan menampakkan diri di depan Pak Kuntowo dengan keadaan tak berjilbab, atau saya berjilbab penuh seutuhnya. Alhamdulillah, saya memilih yang kedua. Pada saat kenaikan dari kelas dua ke kelas tiga, saya resmi berjilbab secara penuh.

Ya, TPA adalah salah satu jalan saya menuju hidayah. Setelah berjilbab penuh, saya memutuskan untuk banyak belajar ilmu agama. Terlebih setelah saya masuk kuliah di Fakultas MIPA Universitas Diponegoro yang sering disebut-sebut sebagai pesantrennya Undip. Suasana religius sangat terasa. Kajian-kajian di mushola cukup ramai, demikian juga di masjid-masjid sekitar kampus. Ada juga Ma’had Assalam yang membuka jenjang pendidikan tinggi dengan program studi Dirosah Islam. Saya sempat mengenyam kuliah di sana di sela-sela kuliah resmi di Undip.

Saat berada di Semarang, saya pun ikut mengajar pula di TPA dekat indekost di daerah Ngesrep Timur, Banyumanik, Semarang. Terinspirasi dengan keberhasilan kakak-kakak mahasiswa UGM yang menginisiasi TPA di desa saya dahulu, ketika KKN di desa Pakis, Grobogan, saya juga mencoba mengaktifkan TPA di sana. Tetapi, pelaksanaannya tak semudah harapan. Salah satu penyebabnya, di tim KKN desa tersebut, sayalah satu-satunya yang Beragama Islam. Karena sendirian, tentu beban menjadi berat. Beruntung, saya menemukan kader-kader anak desa asli yang bisa dibina. Merekalah yang alhamdulillah akhirnya meneruskan membangun TPA di desa mereka setelah saya pergi.

Sementara, di desa, TPA Al-Muttaqien tetap berjalan dengan tertib. Terlebih, para pengelola sudah mulai matang seiring dengan usia yang kian dewasa. Akan tetapi, memang sempat terjadi kendala serius, ketika satu per satu pengelola meninggalkan desa tercinta untuk bersekolah di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. TPA tersebut sempat terpuruk ketika sudah tak ada lagi pengelola yang cukup bersemangat dan berkompeten. Jumlah santrinya merosot drastis. Dari sekitar seratus santri menjadi belasan, bahkan terkadang hanya beberapa gelintir yang hadir. Anak-anak di desa lebih banyak memiliki nongkrong di depan televisi atau nge-game, sementara remaja-remajanya lebih hobi nongkrong atau balapan motor. Ironisnya, hal ini terjadi saat masjid sudah direnovasi menjadi sangat megah, dan TPA diberi gedung tersendiri di samping masjid. Yah, bangunan fisik memang bukan jaminan kualitas sebuah lembaga.

Alhamdulillah, baru-baru ini TPA Al-Muttaqien kembali dirapikan. Salah seorang famili yang semula tinggal di Jakarta, pulang kampung dan menetap di sana. Dialah yang menjadi salah satu penggerak di TPA Al-Muttaqien. Semoga TPA tersebut kembali berjaya, sebagaimana TPA-TPA lainnya. Amiin.

Oleh Afifah Afra


LKG TPQ 23 July 18, 15:03